"Man Jadda Wajada", Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil
Dengan mengusung matra islami "Man Jadda Wajada" ( Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil ) melalui penokohan Alif Fikri, pemuda daerah asal Bukit Tinggi, Ahmad Fuadi begitu kuat mengvisualisasikan semangat anak muda untuk meraih cita-cita dan cinta di atas segala keterbatasan hidup merantau. Di mulai dari novel pertamanya Negeri 5 Menara, kisah sekumpulan anak muda daerah yang menimba ilmu agama sebagai pondasi kuat untuk hidup bermasyarakat. Siswa-siswa Pondok Pesantren Madani mempunyai kebiasaan yang unik menjelang Adzan Magrib dengan berkumpul di bawah menara masjid sambil melambungkan impian mereka dengan awan masing-masing. Said sebagai simbol menara 1, Raja dengan menara 2, Alif Fikri digambarkan menara 3, Atang menara 4, Dulmajid menara 5, dan Baso sebagai menara 6, berusaha mengukir prestasi masing-masing demi masa depan yang lebih baik. Alif Fikri membayangkan awan impiannya seperti benua Amerika, negara yang ingin ia kunjungi setelah lulus nanti. Begitu pula yang lainnya menggambarkan awan impian mereka seperti negara Arab Saudi ataupun mesir. Di balut dengan suasana Pondok Pesantren yang mengedepankan pengetahuan agama islam dalam kehidupan sehari-hari.
Novel Kedua, Ranah 3 Warna
"Man Shabara Zhafira", siapa yang bersabar akan beruntung
Sukses dengan novel Negeri 5 Menara, novel kedua Ranah 3 Warna memproklamirkan mantra yang tidak kalah dahsyat, "Man Shabara Zhafira" yang artinya, siapa yang bersabar akan beruntung. Kisah Alif Fikri setelah tamat sekolah dari Pondok Madani memilih berjuang dan bersabar untuk mendapatkan ijazah SMA agar dapat mengikuti ujian UMPTN, satu jalan menuju kampus ITB Bandung. Pondok pesantren yang belum berwewenang untuk menerbitkan ijazah layaknya sekolah yang disubsidi pemerintah, membuat Alif harus gerilya dengan mengikuti ujian penyetaraan ijazah SMA. Alif belajar dengan sungguh-sungguh membaca semua buku SMA yang ia pinjam, terlihat pada Bab 1 Mendaki Tiga Pucak Bukit. Namun, Alif sadar bahwa ia tertinggal dalam pelajaran hitungan dan ilmu pasti. Meski begitu, Alif masih yakin bisa lulus UMPTN dan kuliah di Perguruan Tinggi Negeri. Dengan berat hati, akhirnya dia realistis untuk memutuskan mengambil jurusan IPS dan harus rela tidak jadi kuliah di ITB. Dengan semangat dan kerja keras yang maksimal Alif lulus UMPTN dengan diterima pada jurusan Hubungan Internasional, Universitas Padjajaran Bandung.
Menghasilkan Uang dari Menulis
Alif juga mengalami kesulitan keuangan dengan menumpang tinggal di kos Randai, teman satu kampungnya. Awan mendung masih menghinggapi Alif, tidak hanya memikirkan biaya kuliah yang harus ia cari sendiri namun juga dia harus membantu keuangan Ibu dan adiknya. Belum lagi bersaing dengan Randai memperebutkan hati Raisa, pujaan hati yang ia idam-idamkan. Perlahan tapi pasti, Alif berhasil memperbaiki kondisi keuangannya dengan cara menulis. Dengan hasil menulis ia bisa mengirimkan sedikit uang bagi keluarganya di kampung. Seiring berjalannya waktu, Alif tiba pada keberuntungannya yang pertama dimana ia terpilih sebagai mahasiswa utusan pada program pertukaran belajar ke Benua Amerika. Alif memilih Negara Kanada. Di sana ia tinggal bersama keluarga angkat. Orang tua angkat yang sudah menganggap Alif seperti anak sendiri. Saat tiba waktu Alif untuk kembali ke Indonesia, keluarga angkatnya di Kanada sangat sedih. Namun Alif meninggalkan janji untuk mereka, kelak akan kembali ke Kanada. Janji tersebut ditepatinya 11 tahun kemudian. Ia kembali berkunjung ke Kanada bersama isterinya.
Novel Ranah 3 Warna ini sangat disarankan untuk dibaca mereka yang takut bercita-cita tinggi. Kisah perjalanan hidup Alif dikemas begitu menggugah semangat "Man Jadda Wajada", siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Dan yang paling bermakna yakni mengawinkan usaha dengan kesabaran. Pantang menyerah pada awal usaha hingga menuju sukses. Bahasa penulisan novel yang tidak menoton dengan alur cerita yang mengalir disertai motivasi perjuangan menggapai cita-cita hidup lebih baik.
Kutipan-kutipan motivasi:
Ahmad Fuadi memang tidak lepas menyelipkan kutipan-kutipan motivasi:
"Bersabar dan ikhlaslah dalam setiap langkah perbuatan"
Terus-meneruslah berbuat baik, ketika di kampung halaman dan di rantau Jauhilah perbuatan buruk, dan ketahuilah pelakunya pasti diganjar, di perut bumi dan di atas bumi.
Bersabarlah menyongsong musibah yang terjadi dalam waktu yang mengalir Sungguh di dalam sabar ada pintu sukses dan impian kan tercapai Jangan cari kemuliaan di kampung kelahiranmu
Sungguh kemuliaan itu ada dalam perantauan di usia muda
Singsingkan lengan baju dan bersungguh-sungguhlah menggapai impian
Karena kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan
"Man shabara zhafira." (Siapa yang bersabar akan beruntung).
"Man jadda wajada!" (Siapa bersungguh-sungguh akan berhasil).
"Orang-orang yang aku kenal ini menaruh simpati, kasihan, bahkan ada yang meremehkanku. Seakan mereka tidak percaya dengan tekad dan kemampuanku. Aku tidak butuh semua komentar mereka. Aku bukan pecundang. Sebuah "dendam" dan tekad menggelegak di hatiku. Aku ingin membuktikan kepada mereka semua, bukan mereka yang menentukan nasibku, tapi diriku dan Tuhan. Aku punya impianku sendiri. Aku ingin lulus UMPTN, kuliah di jalur umum untuk bisa mewujudkan impianku ke Amerika."
"Going the extra miles. I'malu fauqa ma'amilu. Berusaha di atas rata-rata orang lain."
"... Mereka benar-benar mengamalkan kata-kata Julius Caesar, veni vidi vici, saya dantang, saya lihat, dan saya menang."
"Bila aku bosan belajar, aku bisikkan kediri sendiri nasihat Imam Syafi'i,
"berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang." Jangan menyerah. Menyerah berarti menunda masa senang di masa datang."
"Aku coba menghibur diriku. Toh aku telah melakukan segenap upaya, di atas rata-rata. Telah pula aku sempurnakan kerja keras dan do'a. Sekarang tinggal aku serahkan kepada keputusan Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya."
"Man yazra' yahsud. Siapa yang menanam akan menuai yang ditanam."
"... Walau hanya berbisik di hati, rupanya Tuhan selalu Maha Mendengar."
"Bukankah kata pepatah, setiap perjalanan panjang harus dimulai dengan langkah pertama?" "Aku akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa hidup itu masalah penyerahan diri. Kalau aku sudah bingung dan terlalu capek menghadapi segala tekanan hidup, aku praktikkan nasihat Kiai Rais, yaitu siapa saja yang mewakilkan urusannya kepada Tuhan, maka Dia akan 'mencukupkan' semua kebutuhan kita.
"Saafir tajid 'iwadan amman tufarikuhu. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti kerabat dan kawan." (Imam Syafi'i).
"Nak, ingat-ingatlah nasihat para orangtua kita. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jangan lupa menjaga nama baik dan kelakuan. Elok-elok menyeberang. Jangan sampai titian patah. Elok-elok di negeri orang. Jangan sampai berbuat salah."
"Anak-anakku, sungguh do'a itu didengar Tuhan, tapi Dia berhak mengabulkan dalam berbagai bentuk. Bisa dalam bentuk yang kita minta, bisa ditunda, atau diganti dengan yang lebih cocok buat kita."
"Jadilah seperti anjuran Nabi, khairunnas anfauhum linnas, sebaik-baiknya manusia adalah orang yang memberi manfaat bagi orang lain."
"Bukankah Imam Syafi'i pernah menasihati bahwa menuntut ilmu itu perlu banyak hal, termasuk tamak dengan ilmu, waktu yang panjang, dan menghormati guru. Kalau dia guruku, aku harus hormat padanya dan bersabar menuntut ilmu darinya. Peduli amat, banyak kok guru yang lain. Hatiku lalu bertanya: "Apa sih niatmu? Kalau ikhlas untuk belajar, ya ikhlaskan niatmu diajar dia."
"Wahai anakku, latihlah diri kalian untuk selalu bertopang pada diri kalian sendiri dan Allah. I'timad ala nafsi. Segala hal dalam hidup ini tidak abadi. Semua akan pergi silih berganti. Kesusahan akan pergi. Kesenangan akan hilang. Akhirnya hanya tinggal urusan kalian sendiri dengan Allah saja nanti."
"Sosok Mang Udin, tukang sepatu bertangan satu ini tidak bisa hilang dari kepalaku semalaman. Kenapa aku terbenam dengan kemalanganku? Terlalu fokus dengan kekuranganku? Terlalu mengasihani diri sendiri? Padahal kalau dibanding tukang sepatu itu, nasibku jauh lebih baik. Aku malu telah terlalu larut dengan nasibku. Dunia akan tetap berputar. Kenapa aku mengharapkan dunia yang berubah? Seharusnya akulah yang menyesuaikan dan dengan begitu bisa mengubah duniaku."
"Ya Tuhan yang Maha Menyaksikan, Engkau telah mengatakan tidak akan memberi manusia cobaan di atas kemampuannya. Kalau begitu, semua cobaan ini masih bisa aku hadapi. Engkau tidak akan mengubah nasib kaum sebelum kaum itu mengubah nasibnya. Karena itu aku ingin mengubah nasibku dengan mencari kerja sekarang juga."
"Iza shadaqal azmu wadaha sabil, kalau benar kemauan, maka terbukalah jalan."
"Apa gunanya masa muda kalau tidak untuk memperjuangkan cita-cita besar dan membalas budi orangtua? Biarlah tulang mudaku ini remuk dan badanku susut. Aku ikhlas mengorbankan masa muda yang indah seperti yang dinikmati kawan-kawanku. Aku harus keras pada diriku sendiri. Harus berjuang melebihi rata-rata orang lain. Man jadda wajada!" Ada hikmah yang menghujam begitu membaca kalimat ini jika diresapi mendalam.
"...sebuah syair Arab mengatakan, siapa yang bersabar dia akan beruntung. Jadi sabar itu bukan berarti pasrah, tapi sebuah kesadaran yang proaktif. Dan sesungguhnya Allah itu selalu bersama orang yang sabar."
"Yang namanya dunia itu ada masa senang dan masa kurang senang. Di saat kurang senanglah kalian perlu aktif. Aktif untuk bersabar. Bersabar tidak pasif, tapi aktif bertahan, aktif menahan cobaan, aktif mencari solusi. Aktif menjadi yang terbaik. Aktif untuk tidak menyerah pada keadaan. Kalian punya pilihan untuk tidak menjadi pesakitan. Sabar adalah punggung bukit terakhir sebelum sampai di tujuan. Setelah ada di titik terbawah, ruang kosong hanyalah ke atas. Untuk lebih baik. Bersabar untuk menjadi lebih baik. Tuhan sudah berjanji bahwa sesungguhNya Dia berjalan dengan orang yang sabar."
"Lan tarji' ayyamullati madhat. Tak akan kembali hari-hari yang telah berlalu."
"Al muhafazhah ala qadimi shalih, wal akhzu ala jadidil ashlah. Hanya memegang teguh hal yang baik di masa lalu dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik lagi."
"Usaha yang sungguh-sungguh dan sabar akan mengalahkan usaha yang biasa-biasa saja. Kalau bersungguh-sungguh akan berhasil, kalau tidak serius akan gagal. Kombinasi sungguh-sungguh dan sabar adalah keberhasilan. Kombinasi man jadda wajada dan man shabara zhafira adalah kesuksesan."
"Awalnya hanya angan-angan di bawah menara masjid Pondok Madani. Kini lihatlah, anak kampung ini menjejak benua Amerika. Modalku hanya berani bermimpi, walau sejujurnya, aku dulu tidak tahu cara menggapainya." Banyak sekali kutipan yang bermanfaat yang dapat diambil hikmahnya dari novel Ranah 3 Warna. Bentuk pembatas halaman yang berbentuk daun pohon maple yang berwarna orange, mungkin agar pembaca ikut merasakan suasana kota Quebec, Kanada.
Novel Ketiga, Rantau 1
Muara
“Man saara ala darbi washala", Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan
“Man saara ala darbi washala", Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan
Cover novel dengan elemen
air, tanah, perahu, dan dua orang yang sedang mendayung kano menyiratkan isi cerita
novel ketiga ini. Dibuka dengan dialog antara Alif dengan Ibu kosnya di Bandung
setelah kepulangan Alif dari Quebec, Kanada. Alif menghadiahkan daster macan
kepada Ibu kos (Ibu Odah) yang telah berbaik hati tidak menyewakan kamar untuk
penghuni lain selama Alif berada di Kanada. Namun Alif dikagetkan
dengan surat peringatan dari kampus tempatnya berkuliah (Unpad) untuk segera
mendaftar ulang dan tagihan Ibu kos untuk segera membayar uang kos. Alif menelepon Bang Togar dengan
maksud meminjam uang. Bang Togar malah menyalak dan mengingatkan mengenai
honor yang belum dibayarkan oleh media lokal di Bandung yang memuat artikel
Alif semasa Alif masih di Kanada. Akhirnya kedua
tagihan Alif bisa dibayar.
Alif sempat menjadi
penulis kolom tetap di Warta Bandung dan media yang berbeda memintanya menulis
mengenai analisis politik luar negeri. Setiap tulisan yang keluar dari kamarnya
adalah tulisan yang pasti dibayar. Jatah uang untuk Amak dan biaya sekolah
adik-adiknya pun naik tiap bulannya. Keberuntungan Alif tidak hanya itu. Alif mendapatkan
beasiswa sebagai visiting student di The National University of Singapore. Tak lama, Alif menjadi korban
krisis moneter 1998 karena koran Suara Bandung tempatnya bekerja tidak lagi
memuat tulisannya selama kondisi ekonomi Indonesia belum stabil.
Puncaknya, Alif menarik
tunai di ATM karena Alif terjajah oleh utang. Setelah Alif bertemu dengan
Randai dan Raisa. Alif gamang. Apakah menulis sudah ditakdirkan menjadi jalannya dalam mengarungi hidup. Akankah
malah Randai yang memaknai salah satu mantra yang diajarkan di Pondok Madani:
“Man saara ala darbi washala", Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai
di tujuan (Hal. 29) Setelah merenung, Alif menyadari bahwa passion-nya adalah
menulis. Alif telah menekuninya selama bertahun-tahun sejak berumur 13 tahun,
koran Syiah - Pondok Madani.
Majalah Derap Menjadi Tempat Berkarya dan Penemuan Cinta
“Man yazra yahsud",
Siapa yang menanam, dia menuai (Hal.30) Setelah sempat diterima dan kemudian
tidak jadi diterima oleh sebuah perusahaan multinasional akibat krismon. Alif
segera mendapat pekerjaan sebagai wartawan di sebuah majalah nasional ternama
di Indonesia—Derap—yang membawanya meliput rapat kontraktor proyek pemerintah
dan kemungkinan adanya korupsi, bertemu dengan wartawan asing dari Associated
Press, mewawancarai Jenderal yang terlibat kasus HAM di Irian Jaya, meliput
korban kerusuhan 1998 dan akhirnya menjadi journalist of the week. Di sini Alif
pun segera bergelar Doktor (mondok di kantor) bersama Pasus Warta—sahabat karibnya di Derap. Niat hati ingin segera mencari kos di Jakarta,
namun kebiasaan di Pondok Madani pun terbawa di Jakarta. Tidur beralas sajadah.
:D
Majalah Derap juga
merupakan tempat pembentuk kepribadian Alif, juga sebagai tempat Alif mengasah
penanya sebagai wartawan. Tak hanya itu, bekerja di majalah ini, ia juga mulai
bisa move on dari Raisa, perempuan yang sempat menawan hatinya di buku
sebelumnya, di sini ia bertemu dengan perempuan baru, Dinara. Hidup mapan di
majalah Derap ternyata tidak menyurutkan mental perantau Alif. Dengan berjuang
keras ia mendapatkan beasiswa Fullbright untuk melanjutkan S2 di George
Washington University, Amerika Serikat. Namun, awal masa kuliahnya di Amerika
tidak terlalu tenang, karena hatinya tertambat pada seorang gadis bermata indah
di tanah air, Dinara. Selebihnya novel ini bercerita tentang petualangan Alif
di negeri paman Sam. Kehidupan Alif di Amerika penuh warna, sukacita dan cinta.
Di sana ia diterima bekerja di sebuah kantor berita Internasional sehingga membuat
kehidupan Alif jauh lebih berkecukupan.
Di novel ini, kita juga
belajar tentang integritas. Saat Pasus
mendapat dooorprize kulkas dari suatu Departemen dan Mas Aji (Pimpinan redaksi
di Derap) menyuruhnya mengembalikan ke Departemen terkait karena itu adalah
SOGOKAN. Padahal semua rekannya sudah senang menerima kulkas itu dan mau tak
mau harus membantu mengangkat kulkas itu ke bajaj dan Pasus pun mengembalikan
ke Departemen terkait dengan bersungut-sungut karena membuatnya repot. Pasus
berpikir bahwa sogokan itu ya amplop (uang). Ternyata kulkas pun juga sogokan.
“Ketika ada berita yang bisa dibeli, dipesan,
diatur sesuai selera, saat itulah media tergadaikan kepada kuasa (Hal. 79).
Alif akhirnya menemukan passion-nya yakni mencari ilmu—belajar TOEFL—selain
passion menulis. Maka ketika newsroom semakin senyap maka semakin menyala
tekadnya. Dia tahu jika dia terus berjuang dalam sunyi, dia menuju sebuah
tempat yang tidak semua orang akan sampai. Ke tempat orang-orang terpilih saja. “Man thalabal ula sahirul layali”, Siapa yang
ingin mendapatkan kemuliaan, bekerjalah sampai larut malam. (Hal. 154-155)
Setelah dua buku
sebelumnya yakni “Negeri 5 Menara” dan “Ranah 2 Warna” mendulang sukses hingga
cetak berulang-ulang, begitu juga “Rantau 1 Muara”, sebagai penutup dari
trilogi perjalanan sang penulis, Ahmad Fuadi. Meski tergolong fiksi, novel
Rantau 1 Muara ini terasa sangat nyata. Rangkaian cerita kehidupan Alif yang
sangat membumi, pilihan bahasa yang ringan tapi sarat makna serta romansa yang
tersirat di dalamnya membuat pembaca terus penasaran akan akhir cerita.
Romansa Di Ruang Media Massa
Mata kami beradu sejenak.
Darahku berdesir. Hanya satu detik, tapi mampu membuat detak jantungku lebih
cepat… Walau sekilas, aku tidak akan lupa. Alis itu, mata bulat itu. Aku
seperti pernah kenal. Entah di mana (Hal. 84.) Alur cerita yang tertata apik
berhasil menghanyutkan pikiran pembaca seolah ikut mengalami roda kehidupan
seorang Alif Fikri. Dengan mantra man saara ala darbi washala – siapa yang
berjalan di jalannya akan sampai ke tujuan, Alif sempat kebingungan akan jalan
yang harus dipilih.“Jalan apa yang aku tempuh? Jalur mana yang aku ambil?
Sampai ke mana tujuan yang ingin aku capai? Entahlah, semua terasa kabur.”
(hal. 29). Bidang keilmuan yang digeluti Alif yang tanggung membuatnya harus
meraba perjalanannya, memetakan keinginan, dan menghimpun konsistensi untuk
menggapai cita dan cintanya.
Romansa antara Alif dan
Dinara. Dinara, gadis bermata indah yang telah memikat alif sejak pandangan
pertama. Ahmad Fuadi begitu piawai dalam memainkan perasaan pembaca dalam
interaksi antara kedua tokoh novel ini, sangat terasa di bab Hubungan Gelap
(16) dan Magrib Terhebat (17). Gaya pendekatan yang sederhana, manis dan
santun. Alif pun akhirnya berhasil meminang Dinara yang masih berdarah minang untuk ikut bersamanya ke Amerika. Kemudian kebersamaan mereka yang mengantarkan untuk melejitkan potensi
masing-masing, patner kerja di Derap, sampai menjadi Dynamic duo di ABN dan
serta teman merengkuh dayung menuju muara kehidupan yang sebenarnya.
Kampung Halaman menjadi Muara Kehidupan
Selain percintaan, Rantau 1 Muara juga menceritakan kisah pertemanan, persaudaran, antara Alif dan Mas Garuda yang menjadi kakak angkat Alif. Termasuk saat batin Alif dan Dinara menangis saat tragedi WTC terjadi di mana Mas Garuda diduga kuat menjadi salah satu korbannya. Garuda yang sudah menganggap Alif adik kandungnya sendiri, dan Alif pun menganggap Garuda adalah kakak sedarahnya. Sebuah romansa yang diwarnai kekhasan silaturahim khas Indonesia. Setelah Alif berhasil lulus kuliah S2 di George Washington University kemudian bekerja di ABN (American Broadcasting Network) dan pernah mewawancarai Menteri Pertahanan USA di Pentagon. Hidup hakikatnya adalah perantauan. Suatu masa akan kembali ke akar, ke yang satu, ke yang awal. Hidup mapan di Amerika membuat Alif bimbang akan kembali ke tanah air. Kemanakah selanjutnya Alif akan memaknai hidup? Tetap tinggal di Amerika atau tinggal di London sebagai senior editor di EBC (European Broadcasting Corporation) atau malah kembali ke tanah air bersama istri tercinta? Muara segala muara. Di akhir cerita, Alif dan Dinara mendapatkan kejutan menjadi special representative kantor berita internasional ABN (American Broadcast Network) di Jakarta. Gaji Amerika, tinggal di Jakarta. Pilihan yang begitu menarik dan tidak disia-siakan mereka berdua. Dunia bukanlah cita-cita tertingginya. Sehebat-hebatnya manusia, sejauh-jauhnya perjalanan yang telah ditempuh, tetaplah ia akan berhenti di satu muara. Manusia akan kembali pada zat yang satu, yang esensial, yang awal, yaitu Sang Pencipta. Kisah yang begitu inspiratif dari Ahmad Fuadi.
saya sukaa banget dengan trilogi ini...banyak pelajaran baik yang didapat dan bisa diterapkan...thanks for sharing it again yaa...saya sampai bawa bukunya ke sini :)...salam kenaaal..
BalasHapusthank indah nuria savitri, commentnya . salam kenal juga
BalasHapus